Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aspek Sistem Produksi dalam Industri Otomotif

Aspek Sistem Produksi dalam Industri Otomotif

Aspek Sistem Produksi dalam Industri Otomotif - Keperkasaan sistem produksi otomotif Jepang yang mengejutkan dunia dimulai pada akhir era 1970-an atau awal tahun 1980 (Anonymous, 1995), ketika perusahaan Jepang mulai membuka pabriknya di Amerika Serikat. 

Honda membuka pabrik di Ohio pada tahun 1982, dan Toyota menegosiasikan kerjasama dengan General Motor (GM) untuk membuka kembali pabrik GM di Fremont California yang sempat ditutup selama satu tahun. 

Produktivitas dan kualitas yang superior dari produsen otomotif Jepang ini sangat mengejutkan industri otomotif dunia pada masa itu, dan berbagai kajian mengenai rahasia di balik kesuksesan tersebut mulai dilakukan oleh pihak-pihak yang berminat untuk mempelajari kunci sukses industri otomotif Jepang. 

John Krafcik (Anonymous, 1995) menganalisis sistem produksi yang berlaku di perusahaan otomotif Jepang dan memberikan nama “lean production system” untuk menggambarkan teknik produksi, kebijakan SDM dan kebijakan hubungan industrial yang diterapkan oleh perusahaan otomotif Jepang tersebut. 

John Krafcik dan John Paul MacDuffie (Anonymous, 1995) membandingkan kinerja pabrik perakitan di seluruh dunia dan menyimpulkan kehebatan “lean production system” atau “flexible production system” dibandingkan dengan “mass production system” yang pada waktu itu dominan diterapkan pada industri otomotif di Amerika Serikat atau Eropa. 

Kelebihan sistem produksi yang bersifat fleksibel dari sisi pasar adalah kemampuannya untuk memenuhi permintaan konsumen yang sangat bervariasi, sedangkan dari sisi pekerja adalah pemanfaatan aspek kerjasama, rotasi pekerjaan dan pengembangan multi-skill. 

Kelebihan ini mengalahkan sistem produksi massal atau “mass production” yang ditandai dengan biaya rendah, efisiensi tinggi karena over-spesialisasi, namun kurang dapat memenuhi permintaan konsumen yang beragam dan dari sisi pekerja menghasilkan rutinitas dan pekerjaan yang tidak menantang. 

Produksi massal ini dikenal dengan istilah Fordism atau Taylorism (Saruta, 2006). Superioritas dari sistem produksi Jepang ini tetap teruji hingga saat ini, seperti yang terjadi pada Toyota Production System (TPS) yang menginspirasi produsen otomotif di negara-negara lain, meskipun dengan hasil yang belum tentu sama karena berbagai faktor pendorong atau penghambat yang juga berbeda. 

Akan tetapi TPS ini bukan tanpa kelemahan. Cukup banyak kritik yang ditujukan pada cara Toyota menciptakan The Toyota Man, yaitu suatu istilah yang diberikan untuk karyawan-karyawan Toyota yang menunjukkan totalitas integrasinya pada organisasi. 

Dalam istilah Saruta (2006), Manusia Toyota ini diibaratkan sebagai karyawan yang mencurahkan segenap jiwa dan raganya (body and soul) hanya untuk organisasi Toyota. Tidak ada ruang bagi kehidupan keluarga untuk karyawan-karyawan Toyota. 

Kritik ini ditujukan terutama pada bagaimana cara Toyota mencapai produktivitas dan kualitas tinggi dengan SDM yang se-efisien mungkin, terutama di bagian perakitan (assembly). 

Tuntutan untuk patuh terhadap jam kerja yang panjang (long working hours) dan ketepatan kehadiran dalam kelompok kerja kecil pada saat komponen-komponen mobil siap dirakit menjadi satu mobil utuh (concentrated labour), menjadi salah satu kunci sukses yang mendukung keberhasilan lean production system (Saruta, 2006). 

TPS juga bukan satu-satunya sistem produksi otomotif Jepang. Selama ini perhatian terhadap sistem produksi otomotif terlalu terpaku pada Toyota dan melupakan bahwa ada sistem produksi kelas dunia lainnya sebagai alternatif TPS. 

Sebagai contoh, Nissan memiliki sistem produksi tersendiri yang diberi nama Nissan Production Way (NPW). Nissan bahkan memiliki konsep “X” Production System (XPS) yang menyatakan bahwa 'sistem produksi X' seharusnya diciptakan khusus untuk perusahaan “X”, dan bukan merupakan 'tiruan cetak birunya TPS'. 

Tujuan utama TPS dan NPW pada dasarnya sama, yaitu: “to achieve world-class operations by reducing waste and reducing lead times”. Perbedaan terletak pada pendekatannya. 

Bila Toyota berfokus pada simplisitas yang ekstrim dan Kanban-based suppy (yaitu komunikasi horisontal yang intensif antar lini produksi), Nissan berfokus pada sinkronisasi dan Technology-driven supply (Tnetland, 2012). 

Pada dasarnya prinsip kerja yang diharapkan dari TPS maupun NPW sama, yaitu bagaimana caranya agar di shopfloor (tempat kerja perakitan mobil) produk mobil dan komponen-komponen yang akan dipasang datang melalui assembly line pada posisi dan saat yang tepat. 

Meskipun tujuannya sama, namun tetap terlihat adanya perbedaan dalam sistem produksi di perusahaan-perusahaan otomotif Jepang, dan masing-masing sistem produksi tersebut dapat menjadi faktor kunci sukses bagi masingmasing organisasi.

A. Aspek Pengelolaan SDM

Dengan memfokuskan perhatian pada perusahaan otomotif Jepang yang menjadi pusat kajian dalam penelitian ini, maka dalam industri otomotif Jepang, aspek pengelolaan manusia semuanya diarahkan untuk mendukung sistem produksinya. 

Sebagai contoh, bila TPS mempersyaratkan The Toyota Way untuk mendukung proses produksi agar mencapai hasil maksimal yang diharapkan, maka NPW memiliki pula The Nissan Way. 

The Toyota Way adalah nilai-nilai dan aturan berperilaku yang harus dimiliki, dipegang erat dan diterapkan oleh karyawan selama masih ingin dianggap sebagai karyawan Toyota (Saruta, 2006). The Toyota Way meliputi 2 pilar dasar: 
  1. wisdom dan kaizen (kebajikan dan perbaikan yang terus menerus atau continuous improvement), dan 
  2. respect for human nature (rasa hormat terhadap sesama manusia). Manajemen SDM di Toyota juga diarahkan untuk mendukung The Toyota Way. 
Sebagai contoh, di bidang rekrutmen dan seleksi, karakteristik kepribadian calon karyawan yang selaras dengan nilai-nilai Toyota seperti kesediaan kerja sama dalam kelompok, kecenderungan untuk tidak egosentris dan lain sebagainya, menjadi nilai-nilai yang diutamakan (Winfield, 1995). 

Sistem manajemen karir, pengembangan SDM dan remunerasi juga disesuaikan dengan tujuan dari The Toyota Way. 

Sementara itu The Nissan Way dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai pada karyawan bahwa: the customer is prime focus, value creation provides the impetus and success is measured in terms of profit (Nissan-shatai, 2011). The Nissan Way memiliki 5 faktor pendorong, yaitu: 
  1. Nissan's respect for diversity (Nissan menghargai perbedaan); 
  2. Career design support (Nissan mendukung karyawan merencanakan karir dan upaya mencapainya); 
  3. Culture of learning (Nissan mengenali pentingnya belajar bagi para karyawan mereka); 
  4. Stronger internal communication (Nissan memfasilitasi upaya untuk saling berbagi informasi dan komunikasi melalui sistem intranet, survei opini karyawan, newsletters, pertemuan untuk saling bertukar informasi dan sebagainya); 
  5. Building safe workplaces (Nissan menghargai karyawannya dengan memberikan perlindungan tempat kerja dengan menerapkan standar keamanan secara global) (Nissan-shatai, 2011). 

B. Hubungan antara Aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Kinerja Organisasi di Industri Otomotif 

Kajian mengenai hubungan antara pengelolaan SDM dengan kinerja organisasi atau kinerja karyawan ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh MacDuffie (1995) dan Zacharatos et al. (2005). 

Baik MacDuffie (1995) maupun Zacharatos et al. (2005) memasukkan aspek pengelolaan SDM sebagai bagian dari aspek pengelolaan produksi secara keseluruhan, sebelum dihubungkan dengan kinerja organisasi atau kinerja karyawan. 

MacDuffie memasukkan seperangkat sistem produksi, sistem kerja dan kebijakan manajemen SDM sebagai indikator dari organisasi produksi; sedangkan Zacharatos et al. memasukkan klaster sistem kerja, kebijakan manajemen SDM dan kepemimpinan sebagai indikator dari praktek organisasi berkinerja tinggi. 

Hasil penelitian dari MacDuffie (1995) menunjukkan bahwa aspek pengelolaan SDM menjadi signifikan berpengaruh terhadap kinerja organisasi manakala aspek tersebut merupakan bagian yang saling terintegrasi dengan sistem produksi dan sistem kerja, terutama di sistem produksi yang bersifat “lean atau flexible production”. 

Sedangkan hasil penelitian Zacharatos et al. (2005) menunjukkan bahwa ketiga klaster yang menjadi ukuran praktek organisasi berkinerja tinggi terbukti saling berkorelasi satu sama lain, dan bahwa ketiga klaster tersebut terbukti berpengaruh terhadap kinerja karyawan, akan tetapi melalui variabel mediator berupa person-focused outcomes dan organizational-focused outcomes.
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Aspek Sistem Produksi dalam Industri Otomotif"

close